Senin, 10 Maret 2014

Orentasi Study Asmara

Aku tergabung kembali dalam kegiatan ini, sudah tiga tahun berantai aku mengikutinya, ku tahu banyak kegiatan lain yang lebih menguntungkan bagiku, tapi buatku ini berbeda. Aku bahkan rela bangun pagi-pagi, pagi-pagi sekali. Menuju kampus yang jaraknya 19 Km dari kediamanku, tentu sangat dingin udara pagi itu. Ya, sangat dingin, tapi Aku tetap melawannya. Hebat bukan?
Apa yang salah? Tidak ada yang salah. Hanya hatiku yang salah. Ku tahu harusnya hatiku telah beku beradu dingin subuh, kemudian mencair di tusuk mentari pagi dan menguap di kala senja. Aku rehat hanya pada malam hari, setelah Isya hingga menjelang subuh dan setelah subuh harus rutinitas lagi. Walau ini hanya seminggu dalam setahun, namun sangat melelahkan bagi yang tidak terbiasa.
Awalnya Aku sebagai peserta dan tahun berikutnya Aku menjabat sebagai panitia. Orentasi adalah kegiatan memperkenalkan akademika kampus kepada junior-junior yang baru lulus dari penerimaan mahasiswa baru. Trend masa kini Orentasi identik dengan peenganiayaan dan kekerasan. Tapi di kampusku tidak, sungguh tidak. Misi kami ialah membuat mereka selalu tersenyum dalam masa-masa itu. Hasil materi tidaklah Aku dapati dalam kegiatan ini, namun aku tidak mencari hal itu. Aku Puas, puas melihat canda tawa teman-teman, puas menikmati keceriaan pada setiap detiknya, duka bersama, tawa bersama. Sungguh menyenangkan.
Tahun ini ada yang berbeda, ada motivasi besar dalam diriku kali ini. Ada bunga cinta bertebaran di area Orentasiku. Serbuknya ditabur oleh gadis kelompok 7. Ya, kelompok 7. kami membagi peserta orentasi dalam 7 kelompok; ar-rahman, ar-rahim, al-hakim, al-mukmin, al-adl, al-munawir, dan al-fattah. Kampusku berlatar islam; Sekolah Tinggi Agama Islam Natuna, jadi nama-nama kelompok kami buat bernuansa islami.
Gadis al-fattah itu, memandangnya membuatku makin semangat memandu yel-yel, aura menyenangkan selalu tertampil di senyumnya. Tak pernah bosan Aku memandangnya, Ia pun tak pernah absen selama kegiatan walau sehari pun, tak pernah membangkang pada panitia, patuh, taat dan iklas.
Di sela-sela kegiatan yang silih berganti itu, kusempatkan mencuri pandangannya, melirik bad namanya yang terbuat dari karton pelangi, ukuran 30×5 centi meter itu, dikalungkan di leher dengan tali rapia yang dikepang warna biru, bukan itu saja. Dasi yang terbuat dari daun kelapa muda berbentuk kupu-kupu juga terpajang disana, ditemani dot bayi bening yang siap-siap untuk disedot kala kami ingin mengerjainya. Ya, itulah aturan yang kami buat. Itu adalah untuk kesederhanaan dan kesetaraan. Ditambah lagi Tas yang terbuat dari karung beras bekas bertali rapia kepang. Kostum putih hitam; baju putih rok hitam. Jilbab putih dihiasi kupu-kupu dari pita merah putih. “RAHMA” itulah namanya seperti yang kulihat. Kurasa tak mungkin salah karena Aku berkali-kali melihatnya. Tentu Aku tidak salah.
Aku belum mengenalnya, hanya namanya saja. Sosok gadis yang tegar dalam hari-harinya, terlukis pada dirinya. Seberapa pun kami mengerjai junior-junior itu, mereka tak pernah dendam. Begitu juga dia; Rahma. Sering kami mencari-cari kesalahan mereka hanya sekedar untuk dibentak-bentak, menguras mental dan menempa emosi mereka.
Kala azan berkumandang, kami bimbing junior menuju Masjid Agung Natuna, masjid itu menghiasi pemandangan di area Gerbang Utara-Ku, belakangnya berjulang gunung yang ditemani sang awan putih yang berarak-arakan. Tepatnya, 100 meter di depan kampusku. Tidak ada yang boleh menggunakan sepeda motor, hanya boleh jalan kaki; itu termasuk aturan yang harus ditaati. Selepas Sholat, aku tertunduk pasrah cukup lama di hadapan Tuhan, memohon banyak hal kepadaNya, terutama meminta Rahma. Tuhan, hanya kepada Engkau hamba meminta, dan Engkaulah yang biasa mengabulkan segala bentuk doa, mohon izinkan hamba mengenal sosok Rahma lebih dekat, menyelami kehidupannya lebih dalam dan mengetahui asal usulnya. Tuhan, jadikan Rahma tulang rusukku yang hilang, kemudian gegaslah kembalikan padaku secepatnya.

~RAHMA~
Seminggu ini, diriku ditempa, dilatih kedisiplinan, kesabaran dan mengelola emosi. Banyak sekali aturan yang harus kami ikuti; hadir pukul 05.00 pagi dan pulang pukul 17.00 sore, tidak boleh telat dan tidak boleh sedikit pun salah dalam atribut. Tapi aku senang, bahagia dan gembira. Bercanda bersama teman-teman, mengkritik kakak-kakak senior di belakang; ada yang jahil, ada yang pendiam, ada yang wibawa ada pula yang aku kagumi. Itu yang membuat api semangat membara dalam diriku. Aku lupa namanya, dia pernah menyebutnya secara umum di hadapan kami tapi tidak boleh diulang sehingga sulit bagiku mengingatnya, itu juga aturan untuk kami. Diwajibkan kenal dengan 40 orang panitia, namun untuk itu sangat sulit. Hal ini memberi kesempatan pada mereka untuk mengerjai kami. Dia tegar dan selalu tersenyum. kala marah, dia amat manis; itu menurutku. Tidak pernah dia tidak tampak di masa orentasi itu; dialah pemandu yel-yel kami. Membuat kami bersemangat, bergembira dan terhibur. Bahkan dia pun lebih bersemangat saat memandu kami bernyanyi.
Ku tahu kegiatan ini merupakan proses awal memasuki dunia kampus. Ini wajib. Mengikutinya dengan iklas, itulah tujuanku. Aku tak pernah tidak hadir, tidak pernah telat, tidak pernah lupa atribut, tidak pernah membangkang dengan aturan-aturan. Ku tahu, ini untuk pembelajaran. Atribut yang disyaratkan pada kami; pakaian hitam putih, jilbab dihiasi 10 kupu-kupu pita dan bagi pria; kopiah hiitam di lingkari pita merah putih, di leher terkalungkan papan nama dari karton; tertuliskan nama panggilan, dikalungkan pula dot bayi dan dasi dari daun kelapa; bagi kaum wanita berbentuk kupu-kupu dan pria berbentuk menjulur ke bawah. Ransel terbuat dari karung bekas, bertali rapia kepang. Ditambah kaos kaki bola yang berbeda warna; bagi pria harus memasukkan ujung celananya ke dalam kaos kaki itu, sungguh aneh bukan?. Tapi ini demi kesetaraan. Belum cukup hal itu, dalam ransel harus dilengkapi alat sholat, buku pena, piring dan sendok, serta dua buah kaleng susu yang berisi keleng; sangat berisik ketika kami melangkah, berlari dan bergerak. “kreng-kreng, kreng-kreng, kreng-kreng”.
Aku selalu tegar dan tersenyum, ada kekuatan besar dalam dadaku. Pria itu?. Ya, Pria itu; kakak senior yang idealis itu. Bagaimana tidak?, dia menyuruh juniornya untuk merapikan rambut dan kalau tidak?, akan di aut-kan dari orentasi, tapi dia sendiri rambutnya panjang. Panjang sekali malah. Hanya Dia sendiri kakak panitia yang begitu. Ku tahu, itulah khas dirinya, kutahu dia sedang menguji mental kami, “Hal buruk tidak perlu di ikuti” pasti begitu batinnya. Namun disitulah aku menyukainya, terlukis pria yang berpegang teguh pada prinsip, menggambarkan keelokan dirinya yang tidak mau dijajah oleh orang lain, pelajaran yang disampaikannya berbeda. Dia pula telah menyebarkan api asmara di halaman orentasi, dan aku sudah tersambar api itu. Aku tidak dapat mendefinisikan perasaan ini, namun kekuatan itu begitu kuat. Ku ingin selalu dekat dengannya; melihat senyumnya, melihat tawanya, dibimbing bernyanyi olehnya.
Tepat di beranda kampus, berdidri gagah Masjid Agung natuna, menyapa gunung dan melirik awan. Butuh waktu 10 menit berjalan kaki untuk sampai kesana dari kampus. Saat azan tiba, kami berbondong menuju masjid, tidak ada yang boleh bersepeda motor, jalan kaki beramai-ramai. Sungguh mengesankan jika terus berlanjut sampai dimasa kuliah nanti. Agenda saat ini ialah isoma; istirahat-sholat-makan. Selepas solat aku meminta kepada Tuhan, banyak hal dalam doa yang aku utarakan. Tidak dapat aku sanggahi, aku juga meminta pria itu padaNya. Memangnya aku harus memohon kemana lagi selain daripadaNya. Engkaulah yang maha mengabulkan segala permintaan. Ya Rabb… jika memang pria itu orang yang berarti dalam kehidupanku, mudahkanlah jalan kami. Ya Rabb… perkenalkanlah aku padanya, dan pertemukanlah kami dengan caraMu.

~HARI PENUTUPAN ORENTASI~
Tidak seperti biasanya, Penutupan dilaksanakan pada hari kamis; sejak dari senin agenda dibuka, tahun lalu selalu hari sabtu ataupun minggu acara penutupan digelar. Namun tidak masalah. Kami panitia sudah mengikuti kalender akademik dan orentasi harus siap pada hari kamis. Itulah keputusan Kampus. Penutupan digelar ke sebuah pantai, pantai Sujung namanya. “Indah, merona, dan menawan”. Begitu ungkapan para pengunjung wisata di daerah ini. Berjarak 25 Km dari kampus dengan menempuh 46 menit perjalanan menggunakan truk; mobil yang biasanya mengangkut barang. Tanpa penutup. Jika hujan, kuyub semua. Tapi hari itu tidak. Gembira-ria, arak-arakan di atas mobil, bernyanyi, bercanda dan sangat menyenangkan.
Agenda inti di daerah itu adalah upacara penutupan, selepasnya hanya ramah-tamah sesama teman seperjalanan; panitia, peserta dan dosen. Kostum hari itu tidak lagi seperti hari sebelumnya; hitam putih. Tapi kini kostum olah raga, corak orange untuk peserta dan hijau untuk panitia. Atribut tetap di gunakan hingga upacara dibubarkan.
Aku melihat Rahma bersama teman yang lainnya di lesehan yang di buat oleh pengelola pantai khusus untuk para pengunjung. Paling tidak, ada 11 lesehan disana yang dibangun. Satu yang besar kami gunakan untuk alat musik lengkap beserta laskarnya yang siap mengalunkan not-not lagu ke area pantai; tempat hiburan hari ini. Satu yang lainnya digunakan untuk segala macam perbekalan yang kami bawa. Aku menuju ke arah mereka, “paling tidak, hanya bergurau dan bercanda”, batinku. Aku memang sedikit spontan terhadap lawan jenis, perasaanku selalu dibahasatubuhkan dengan jelas. Ku tahu, Rahma sering curi-curi pandang denganku. Karena Aku juga demikian. Ku yakin, dia menyukaiku, itu terlukis dari bola matanya yang sendu dan penuh harapan menatapku, Aku pun demikian adanya. Aku juga tahu, pasti Rahma sudah membicarakan Aku bersama teman-temannya. Mereka semua senyum menggoda melihatku. Rahma juga malu-malu ketika Aku mengakrabkan diri.
“Sudah kenal, kakak?” tanyaku.
“Kak Aris, kan?” jawab seorang temannya. Mereka terkekeh melihat tingkahku yang sok akrab. Maklum aku panitia. Jadi perasaan PD-ku besar. (PD = percaya diri)
“Sedang apa rame-rame gini?”
“Istrahat kak, capek.” Salah satu mereka menyodorkan kue, perbekalan mereka kepadaku. Aku tanpa basa-basi meraih perlahan dan duduk sanjung bersama mereka disana. Rahma diam damai. Malu akan ketahuan perasaannya. Malu ada seorang yang dikaguminya, hingga untuk berkata pun menjadi kelu. Teman-teman Rahma sangat pengertian dan mereka beranjak dari lokasi itu. Tinggallah Aku dan Rahma berdua.
“Rahma, kan?” sapa Ku, menyakinkannya karena bad namanya tidak lagi dipakai setelah upacara tadi. Dia tepat di sampingku. Begitu dekat, sekitar 100 centi. Di Samping kananku.
“Iya, Kak.” Jawabnya pelan.
“Bagaimana Kegiatannya, asyik?” aku memulai obrolan lugas agar tidak kelihatan gugup di depannya. Padahal aku sangat gugup dan nervest karena dialah wanita yang Aku suka, wanita yang menabur bunga asmara di hatiku, wanita yang muncul dalam doa ku, wanita yang menjadi harapanku untuk menjadi tulang rusukku yang hilang. Rahma masih terpaku.
“Asal sekolah dimana?” Tanya ku.
“SMAN 1, Kak.”
“Lulusan tahun berapa?”
“Tahun 2013,”
“Kakak juga SMA 1, tapi tahun 2011.”
“Ohh ya, berarti Rahma kelas satu kakak kelas tiga.” Rahma sudah mulai renyah mengobrol. Aku senyum melihatnya bersemangat.
“Kok tak pernah Nampak?” Tanya Rahma.
“Rahma tak melihat, mana akan tampak,” aku menjawab spontan, ditimpali ketawa rahma yang lepas. Obrolan mulai asyik dan lugas, saling menggali informasi lebih dalam tentang diri masing-masing. Tentang tempat tinggal, cita-cita, hingga berbagi nomor ponsel.
Percakapan itu menjadi batu loncatan awal kisah asmara Aku dan Rahma. Lampu sudah berkedip hijau. Tinggal menunggu pembiasaan dan pengaktifan. Mungkin terlalu cepat untuk Aku nyatakan cinta, mungkin juga akan membuat semuanya kacau. Namun jika aku menunggu lebih lama, khawatir ada yang lain mendahuluiku. Tapi tidak. Aku tak butuh cinta yang terburu-buru. Biarlah dia mencari jati diriku dan Aku mencari tentang dirinya. Aku tidak percaya cinta pada pandangan pertama. Menurutku cinta hadir setelah berkomunikasi dan berinteraksi. Bila tiada komunikasi dan intraksi tiada jua lah cinta. Cinta yang hanya dari pandangan itu nafsu setan, menurut ideologiku.
Aku teringat akan ungkapan dalam sebuah buku, bahwa doa yang diperuntukkan orang yang tidak tahu bahwa dia didoakan, doa itu akan terkabul. Ya, seperti Aku dan Rahma. Doa ku untuknya dan dia Berdoa untukku. Baik aku ataupun Rahma sama-sama tidak tahu bahwa kami saling mendoakan. Mungkin karena doa yang dipanjatkan itu sama, maka keduanya saling tarik menarik di atas langit dan terkabul dengat cepat. Masalah dengan kisah berikut antara Aku dan Rahma, biarlah mahkamah asmara yang menyelesaikannya di bawah naungan Sang Maha Kuasa.
Cerpen Karangan: Siswari
Facebook: Siswari Senju
siswari, mahasiswa prodi ekonomi syariah di kampus SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) NATUNA, tahun 2010.
tinggal di ranai.
Sumber: http://cerpenmu.com/cerpen-cinta/orentasi-study-asmara.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar